Saturday, May 26, 2012

Renungan: Tiga Cara Melihat Uang

[imagetag]
Ilustrasi

Masih Melihat dengan Mata?
TEXT : JEMY VESTUS CONFIDO ( LIONMAG )
Renungan: Tiga Cara Melihat Uang
Apakah Anda mengalami salah satu atau beberapa gejala berikut ini?

Kesulitan mendapatkan uang yang Anda butuhkan?
Merasa lelah bekerja keras dan membanting tulang untuk mendapatkan uang?
Merasa telah mengerahkan segala cara namun uang yang Anda harapkan tak kunjung datang?


Jika jawaban Anda adalah "ya" terhadap salah satu, sebagian atau semua pertanyaan di atas, mungkin selama ini Anda melihat uang dengan cara yang salah. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak kisah berikut ini.

Suatu ketika, seorang tukang pembuat taman mendapatkan pesanan untuk mengerjakan taman di sebuah rumah. Segera si pembuat taman menyampaikan rincian biaya yang termasuk pembelian bahan-bahan, pembelian tanaman dan upah kerja. Setelah terjadi tawar-menawar singkat akhirnya harga disepakati dan keesokan harinya si tukang mulai bekerja. Namun sesungguhnya si pemilik rumah belum melakukan survei harga sehingga ia tidak mengetahui berapa harga yang wajar untuk pekerjaan tersebut. Setelah pembuatan taman selesai dan pembayaran dilakukan, si pemilik rumah akhirnya menyadari bila jumlah yang dibayarkannya jauh di atas harga wajar. Si tukang memperhitungkan jumlah bahan yang dibutuhkan hampir dua kali lipat dari jumlah yang sesungguhnya dipakai. Ia juga menghitung tenaga kerja tiga kali lebih
banyak dari yang sesungguhnya. Yang lebih parah
Pada umumnya kita semua melihat uang dengan mata kita. Namun sesungguhnya ada dua cara lain untuk melihat uang...

lagi, harga tanaman yang ditagihkan empat kali lebih tinggi dari harga yang sewajarnya. Mungkin si tukang akan berpendapat, "Salah sendiri, kenapa tidak teliti sebelum membeli." Atau mungkin malah ia berpikiran, "Dasar rejeki, darimana aja dah datangnya." Sepintas, sepertinya si tukang diuntungkan karena kecerdikannya dan si pemilik rumah dirugikan karena kebodohannya. Tapi benarkah demikian?

Si pemilik rumah, setelah menyadari bahwa dia dikerjai oleh si tukang, dengan segera mengurungkan niatnya untuk menyerahkan pekerjaan lain kepada si tukang. Si pemilik rumah sebenarnya bermaksud membuat taman yang lebih besar di rumah lainnya. Namun kali ini ia lebih hati-hati. Selain ia melakukan survey harga, ia pun mencari tukang lain yang memberi harga lebih pantas dengan kualitas yang relatif sama. Bahkan, ketika salah satu tetangganya tertarik untuk memakai jasa si tukang, si pemilik rumah langsung mengingatkan si tetangga dengan menceritakan kejadian yang dialaminya. Segera tetangga-tetangga di sekitarnya mengetahui kejadian tersebut dan akhirnya mereka mengurungkan niatnya untuk menggunakan jasa si tukang. Bulan-bulan berikutnya, si tukang sepi order dan harus mangkal di tempat lain di mana belum ada orang yang menyadari taktik dagangnya. Tapi, segera setelah satu orang di tempat tersebut menyadari dan menceritakannya, maka si tukang kembali harus berpindah tempat. Demikian seterusnya ia akan bekerja semakin keras untuk memburu penghasilan.

Pada umumnya kita semua melihat uang dengan mata kita. Namun sesungguhnya ada dua cara lain untuk melihat uang. Selain melihat uang dengan mata, manusia juga sebenarnya bisa melihat uang dengan pikiran dan melihat uang dengan hati. Namun karena sebagian besar dari kita sejak kecil telah terbiasa melihat uang dengan mata maka kemampuan kita untuk melihat uang dengan pikiran dan melihat uang dengan hati menjadi menurun bahkan hampir hilang. Sampai sini mungkin para pembaca bertanya-tanya, apa sebenarnya perbedaan antara melihat uang dengan mata, melihat uang dengan pikiran dan melihat uang dengan hati? Semoga ilustrasi berikut membantu Anda.

Seorang pengamen masuk ke sebuah rumah makan. Segera ia mendatangi salah satu meja di mana sebuah keluarga sedang asyik menyantap ikan bakar. Pengamen itu pun segera memainkan gitarnya dan mulai menyanyi di dekat keluarga tersebut. Baru satu baris lagu dinyanyikan, si pengamen segera menyodorkan kaleng kosong kepada salah satu anggota keluarga tersebut. Sang Ibu yang sedang asyik menyantap hidangan dan tangannya masih belepotan kecap dan sambal dengan sangat berhati-hati dan bersusah payah merogoh uang receh dari tasnya. Kehadiran pengamen ini bukannya memberikan keceriaan tetapi sungguh mengusik ketenangan pengunjung yang hadir. Selain suara sang pengamen fals, gitar tidak berirama, ia pun mendesak pengunjung untuk segera mengeluarkan uang. Sebelum ada tanda-tanda pengunjung akan mengeluarkan uang, si pengamen akan mulai mengetuk-ngetukkan kaleng kosong tersebut ke meja makan. Dan sebaliknya, begitu uang diterima, si pengamen pun langsung pindah ke meja lain. Pengamen tersebut melihat uang dengan mata. Dan berapa uang yang ia dapat? Mungkin seratus perak per pengunjung. Sesekali mereka mungkin mendapatkan pengunjung yang memberi mereka lima ratus atau seribu perak.

Di tempat makan yang lain, dengan menu yang sama yaitu ikan bakar, seorang pengamen lain mengambil tempat di salah satu sudut. Ia sudah melengkapi dirinya dengan microphone, gitar dan harmonika. Pada saat pengunjung mulai berdatangan, maka pengamen ini pun mulai melantukan lagu-lagu yang digemari oleh para pengunjung. Ia sangat terampil memainkan gitar dan harmonikanya di samping suara yang merdu ia lantunkan. Setiap kali ia menyelesaikan satu lagu, ia tidak pernah meminta pengunjung untuk mengumpulkan uang. Bahkan ia sebenarnya tidak pernah meminta uang sama sekali selain meletakkan sebuah kotak persis di samping tempat ia berdiri. Apa yang terjadi?

Masih melihat uang dengan mata? Maka julukannya
'mata duitan'. Cara melihat yang berbeda, memberi
rezeki yang berbeda pula..

Para pengunjung yang merasa terhibur oleh kehadiran sang pengamen satu per satu mulai memasukkan uang ke dalam kotak itu. Biasanya, uang yang dimasukkan adalah uang kembalian dari membayar makanan mereka. Karena pada saat mereka memasukkan uang tersebut mereka tidak direpotkan oleh tangan yang kotor karena makanan serta mereka sedang memegang uang pecahan satuan besar plus merasa terhibur dengan performance si pengamen maka pengamen kedua ini pun mendapatkan pemberian yang lebih besar dibandingkan pengamen pertama sebelumnya. Rata-rata para pengunjung memberikan seribu perak bahkan cukup banyak yang memberikan lima ribu perak. Pengamen yang satu ini melihat uang dengan pikiran. Ia telah memikirkannya dengan teliti bahwa bila ia menyodorkan kotak uangnya pada para pengunjung, maka pengunjung akan memberi dalam keadaan terpaksa. Dan uang yang diberikan secara terpaksa biasanya kecil jumlahnya.

Di rumah makan yang lainnya lagi, dengan menu tetap ikan bakar, pengamen yang berbeda menggunakan pakaian yang rapi. Dia menyapa ramah para pengunjung dan menghampiri meja mereka satu per satu. Dengan sangat sopan dan bersahabat, ia menanyakan apakah ada lagu kesukaan pengunjung yang ingin ia nyanyikan. Bila ada, maka ia pun segera memetik gitarnya dan melantunkan suaranya dengan merdu khusus untuk pengunjung tersebut. Pada setiap kesempatan ia selalu memastikan apakah para pengunjung bisa menikmati lagu yang ia nyanyikan dan apakah kehadirannya bisa menghibur dan menemani para pengunjung yang sedang menyantap hidangannya. Si pengamen di sini tidak menyiapkan kotak uang apalagi kaleng kosong seperti pengamen-pengamen sebelumnya. Ia hanya menggelar CD lagu-lagunya dan memasang sebuah banner bertuliskan, "Marilah kita bersama-sama mengembalikan masa depan anak-anak yang putus sekolah." Memang setengah dari uang yang diperoleh si pengamen itu akan disumbangkan untuk membantu anak-anak putus sekolah di salah satu kampung. Hebatnya lagi, si pengamen tidak menetapkan harga untuk CD yang dijualnya itu. Bahkan bila ada pengunjung yang berminat dengan CD-nya namun kebetulan kehabisan uang untuk membayar makanan, maka si pengamen dengan senang hati bersedia memberikan CD-nya tersebut gratis. Para pengunjung pun beramai-ramai membeli CD si pengamen tersebut. Bahkan banyak di antaranya yang membeli lebih dari satu untuk diberikan kepada temannya sebagai hadiah. Uang yang diberikan para pengunjung pun jauh lebih besar. Rata-rata mereka memberikan uang sepuluh hingga dua puluh ribu perak namun cukup banyak juga yang bersedia memberikan lima puluh hingga seratus ribu perak. Pengamen yang ketiga ini melihat uang dengan hati. Ia tidak melihat uang sebagai penghasilannya namun sebagai ekspresi kepuasan dan keikhlasan para pengunjung rumah makan tersebut. Bahkan ia tidak memperhitungkan uang tersebut sebagai kepentinganya melainkan sebagai kepentingan orangorang yang menggantungkan harapan kepadanya.

Apakah Anda sudah melihat uang dengan hati atau pikiran? Ataukah Anda masih melihat uang dengan mata? Hati-hati! Ada julukan khusus untuk orangorang yang selalu melihat uang dengan mata yaitu "mata duitan". Bila Anda mengalami kesulitan dalam mendapatkan uang sebagai penghasilan Anda, cobalah untuk menggunakan mata yang lain dalam melihat uang
tersebut. Melihat uang dengan pikiran membutuhkan kecerdasan finansial. Melihat uang dengan hati membutuhkan kecerdasan spiritual yang diantaranya meliputi keikhlasan dan kesabaran. Uang yang Anda harapkan mungkin tidak serta merta langsung Anda rasakan saat itu. Namun bila sudah tiba saatnya, uang itu akan datang secara berkelimpahan. Jauh lebih banyak dari uang yang Anda peroleh secara instan. Cara melihat yang berbeda ternyata memberikan rejeki yang berbeda pula. Dunia ini memang mengajar kita dengan cara yang aneh. Bila kita terlalu bernafsu untuk mendapatkan uang, justru uang itu menjauh dari kita. Semoga Anda bisa mulai melihat uang dengan pikiran dan terlebih lagi dengan hati.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites