Wednesday, May 16, 2012

KISAH PESTA TERAKHIR DI SUKHOI NAHAS


Misteri itu belum terjawab: apa yang membuat pesawat Sukhoi Superjet-100 menabrak tebing Gunung Salak. Dugaan yang beredar selama ini baru spekulasi, kotak hitam belum lagi ditemukan.

Di hari nahas itu, Rabu 9 Mei 2012, ada dua joy flight yang dijadwalkan. Tak seperti yang kedua yang berakhir nahas, yang pertama berlangsung lancar.

Bahkan sehari sebelumnya, 8 Mei 2012, saat Superjet yang sudah melewati tiga negara--Kazakhstan, Pakistan, dan Myanmar--itu berada di persimpangan Khatulistiwa, digelar perayaan Neptunus. Tawa dan canda terlihat dalam pesawat. Seorang penumpang setengah telanjang menghunus trisula perak yang terbuat dari karton.

Ia adalah Sergey Dolya, wartawan pelancong sekaligus blogger penerbangan. Dengan bertelanjang dada, janggut palsu putih panjang, dia menyaru sebagai Neptunus, Dewa Laut dalam mitologi Yunani. "Saya melakukan 'upacara' melintasi Katulistiwa, 10.000 meter di atas laut," kata Dolya seperti diberitakan media Jerman, Spiegel Online. "Biasanya pelaut yang melakukan itu."

Dolya saat itu juga ingin merayakan saat di mana Sukhoi SSJ 100 menembus belahan bumi selatan untuk kali pertamanya.

Suasana di dalam pesawat saat itu sungguh fantastis, semua orang bergembira. Dolya melaporkan, ada sampanye di sana. Tak hanya di kabin, suasana ceria juga menular ke kokpit, di mana kopilot sempat mengambil foto Neptunus jadi-jadian dengan telepon genggamnya.

Siapa yang menyangka sehari kemudian, Superjet itu menabrak Gunung Salak. Delapan kru dan 37 penumpang diduga tewas. Berbagai spekulasi berseliweran soal penyebab, salah satunya, pilot terlalu membiarkan dirinya terinfeksi kegembiraan. Atau, dia salah perhitungan saat bermanuver.

Hanya saja, patut dicatat, tak ada pilot dengan kualifikasi lebih baik dari Alexandr Yablontsev, seorang veteran berusia 57 tahun. Rekan-rekannya menyebut dia sebagai pilot kelas atas. Dia memiliki lebih dari 10 ribu jam terbang, di lebih dari 80 tipe pesawat terbang. Dan saat Superjet melakukan penerbangan perdananya pada Mei 2008, Yablontsev duduk di kokpitnya.

Fotografer Rusia, Marina Lystseva, tak punya pendapat buruk soal Yablontsev. Keputusannya tak ikut di penerbangan kedua karena ia telah mengambil cukup banyak foto. Ia sangat beruntung. Lystseva mengenal dengan baik sang pilot--yang sangat mencintai pesawat terbang dan ingin agar Superjet sukses.

Manuver berlebihan?

Sesaat setelah lepas landas Rabu pagi, Kapten Yablontzev berbelok ke selatan, terbang di atas Bogor, mengitari gunung, dan akhirnya menemui akhir tragis saat menabrak sisi curam Gunung Salak yang dijuluki sebagai "kuburan pesawat". Hingga saat ini, permintaannya turun ke jarak 6.000 kaki atau sekitar 1.800 meter masih jadi misteri.

William Voss, Direktur Flight Safety Foundation, yang berbasis di Virginia mengatakan, dalam wilayah pegunungan "tak ada alasan yang masuk akal bagi pilot untuk turun ke ketinggian tersebut." Diduga, saat itu Yablontzev ingin menunjukkan kemampuan SSJ-100.

Ada banyak faktor yang membuat terbang mendekati pegunungan berisiko tinggi: punggung gunung yang curam, cuaca yang tak bisa ditebak, dan kacaunya pola sirkulasi udara. Terlebih, pesawat diduga melaju sangat cepat, sekitar 130 meter per detik atau 290 mil per jam.

Dengan kondisi tersebut sangat tak mungkin melakukan manuver. Sebab, Superjet adalah pesawat sipil, yang tak bisa melakukan manuver seperti halnya pesawat militer. Seharusnya, pesawat dijauhkan dari gunung, dengan jarak minimal 1.000 meter--aturan yang diduga dilanggar sang kapten. "Apalagi pilot sama sekali tak berpengalaman dengan medan yang memiliki topografi unik," kata ahli penerbangan asal Hamburg, Jerman, Jan Richter.

oto yang diambil Dolya bahkan menunjukkan sistem peringatan medan mati. Soal ini, Dolya telah memberikan penjelasan.

Seperti dilahirkan kembali

Apa yang terjadi di Gunung Salak adalah salah satu contoh demonstrasi pesawat yang berakhir fatal. Pada tahun 1988, pesawat Airbus A320 jatuh dan menabrak hutan dalam pertunjukan udara di Kota Alsatian dari Habsheim.

Setahun sebelumnya, sebuah Airbus A300 jatuh selama penerbangan latihan di dekat kota Luxor Mesir. Dan, pada tahun 1994, uji terbang sebuah pesawat Airbus A330 di Toulouse, Prancis, berakhir dengan bencana. Akibatnya, pesaing utama Airbus: Boeing, memiliki aturan ketat, tak membolehkan pilotnya melakukan manuver berisiko, tak peduli seberapa besar nafsu mereka ingin memamerkan kelebihan pesawat pada pembeli potensialnya.

Untuk Sukhoi, kecelakaan di Bogor tentu saja menjadi pukulan berat. Apalagi, itu pesawat sipil pertama buatan Rusia paska runtuhnya Uni Soviet itu. Padahal, sudah 200 pesawat yang dipesan. Industri penerbangan negara itu sedang menanti keajaiban. Untuk terlahir kembali.

Sementara bagi Dolya dan Lystseva, mereka bagaikan melayang, tak menapak tanah, belum memahami apa yang telah terjadi. "Sangat mungkin kami saat ini juga terbaring tak bernyawa di gunung mengerikan itu," kata Lystseva. "Kami seperti terlahir kembali".

sumber
556412

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites